Peradaban sejarah olahraga di
Indonesia tak lepas dari zaman primitif, zaman kerajaan-kerajaan, zaman
penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman merdeka, dan sebuah Gerakan
Olahraga.
a. Zaman Primitif.
Tidak mengherankan bahwa anak Indonesia dididik sesuai
dengan keperluan hidup primitif waktu itu. Ikut ayah menangkap ikan, berburu,
dan sebagainya merupakan persiapan langsung kepada tugas-tugasnya nanti kalau
sudah dewasa. Jadi menirukan serta mencoba merupakan metoda yang dipakai.
Meniti, mengayun, menggantung, mendayung, melompat,
berenang, lari, menyelinap, dan sebagainya merupakan perbuatan sehar-hari
sehingga pembentukan dan perkembangan fisik berlangsung baik dan sekaligus
bersatu dengan pembentukan watak, kecerdasan, ketrampilan, bersiasat, dan
sebagainya, sehingga boleh disebut pendidikan yang bulat dan menyeluruh.
Seperti pada bangsa-bangsa primitif lainnya suku-suku di
Indonrsia juga mengenal upacara inisiasi, misalnya pada perubahan dari situs
pemuda menjadi dewasa, atau dari bujangan menjadi berkeluarga.
b. Zaman Kerajaan – Kerajaan
Kehidupan di zaman kerajaan-kerajaan besar di Indonesia
separti zaman Sriwijaya, Mojopahit, Mataram ditandai oleh tata feodal yang
memisahkan jauh antara rakyat dan raja dengan adanya pegawai, prajurit dan
kebangsawanan yang memisahkan raja dari rakyat.
Dari tulisan-tulisan kuno dapat dibaca bahwa mengabdi kepada
raja adalah kehormatan dan utnuk itu diadakan persyaratan-persyaratan atau
ujian-ujian. Dari naskah-naskah itu tidak terbaca adanya usaha-usaha
peningkatan kemampuan fisik, walaupun itu dianggap harus dimiliki. Yang
ditinjolkan adalah sifat-sifat kejiwaan dan intelek serta kemampuan yang
melebihi manusia biasa, misalnya tidak nampak oleh musuh, mampu membuat tidur
lawan, kebal terhadap senjata tajam dan mantra-mantra, dan sebagainya.
Dalam hubungan ini patut disebut pencak silat yang juga
merupakan kemampuan yang perlu untuk melindungi kelompok, maka pendidikan
pencak silat tidak berlangsung secara terbuka, tetapi rahasia. Para murid juga
diharuskan merahasiakan kemampuannya demi keselamatan kelompok.
Karena manusia kuno sangat hormat atau segan terhadap
binatang buas maka tidak mengherankan kalau beberapa cara membela diri
dihubungkan dengan kemampuan atau cara menyerang/ bertahan binatang-binatang
seperti kera, burung elang dan sebagainya.
Zaman kerajaan juga mengenal pendidikan prajurit melalui
perintah ngurung atau mengepung harimau oleh barisan prajurit bersenjatakan
tombak. Perintah langsung semacam itu tentu saja memerlukan ketabahan yang
besar. Pemberani sajalah yang tinggal dan dengan begitu terkumpullah prajurit
yang tangguh.
Di abad ke 18 dan 19 di mana raja-raja sudah banyak
ditundukan oelh penjajah, pendidikan cinta tanah air melalui pencak silat
semakin dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.
Yang di Jawa dilaksanakan agak terbuka adalah
latihan-latihan pencak silat yang dikaitkan dengan pelajaran tari-tarian.
Walaupun hanya bentuk luar saja yang tampak , pada kenyataannya telah membuat
anak-anak menjadi berminat untuk mendalami pencak silat lebih jauh, dan
berhasil membuat anak menjadi lebih tergembleng jiwa raganya.
Permainan yang banyak digemari dan terdapat secara luas di
Indonesia adalah sepak raga, suatu permainan bola dengan bola terbuat dari
anyaman rotan. Ketangkasan mempertahankan bola di udara diiringi dengan
bunyi-bunyian gendang atau gamelan, rebana, dansebagainya. Permainan dapat
dilakukan sendirian atau oleh tiga orang sekaligus dengan menggunakan satu bola
saja.
Keberanian dan ketabahan diuji dalam permainan ujungan,
yaitu di mana dua pemuda sambil menggunakan tongkat rotan mencoba mengenai kaki
atau punggung lawannya. Permainan ini tersebar di Jawa dan Nusa Tenggara.
Juga terdapat sejenis tinju yang terkenal dengan nama okol.
Ini terdapat di Jawa Timur. Di Nias pemuda-pemuda diukur ketangkasannya dengan
kemampuannya melompati tembok setelah mengawali pada batu besar di depan tembok
itu. Permainan di mana seorang anak, sambil mengawasi penglakannya harus
menemukan teman-teman yang bersembunyi sangat baik untuk menguji keberanian dan
akal anak.
c. Zaman Penjajah Belanda.
Pengaruh Swedia masuk di Nusantara melalui perwira-perwira
angkatan laut kerajaan Belanda, antara lain Dr. Mikema yang ditempatkan di
Malang. Di kota itu ia juga mengajar gymnastik kepada perwira bintara A.D. dan
guru-guru sekolah. Pada tahun 1920 ia dibantu oleh Classen yang berijazah guru
latihan jasmani untuk sekolah menengah.
Dr. Minkema dapat mempengaruhi pejabat-pejabat pusat Jakarta
sehingga pada Departemen Pertahanan dibentuk biro “ Pengembangan dan Hiburan “.
Pada tahun1922 di di Bandung dibuka Sekolah Olahraga dan
Gymnastik Militer, di mana telah ada Perkumpulan Latihan Jasmani. Di situ
dididik guru –guru gymnastik selama 1 ½ tahun.
Di sekolah Normal dan Kweekschool juga diajarkan latihan
jasmani. Mereka yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh akta ( hak )
mengajar olahraga, yang disebut akta J ( pemula ) dan akta S ( lanjutan ).
Sebelum Perang Dunia ke II di Surabaya ada GIVIO, suatu
Lembaga Pemerintah tempat mendidik guru-guru olahraga.
Setelah Perang Dunia ke II dan Bandung yang diduduki oleh
tentara Belanda didirikan Akademi Pendidikan Jasmani. Olahraga di sekolah
berupa permainan, atletik dan senam. Di luar jam-jam sekolah ada kesempatan
untuk belajar renang dan latihan atletik, sepakbola, basket dan sebagainya (di
sekolah menengah).
Cabang-cabang olahraga dalam zaman penjajahan Belanda belum
banyak yang digemari. Yang ada hanya sepakbola, atletik, renang, tennis dan
horfbal.
Sesuai dengan taraf perjuangan bangsa Indonesia terbentuklah
perkumpulan-perkumpulan olahraga yang bersifat nasionalis. Misalnya PSSI
didirikan untuk menandingi NIVU yang didirikan oleh orang-orang Belanda. Juga
Indonesia Muda sebagai perkumpulan-perkumpulan putra-putri Indonesia telah
memiliki bagian olahraga sepakbola dan atletik. Pola ini kemudian berjangkit
pula ke dalam perkumpulan-perkumpulan pemuda lainnya.
Berbagai pertandingan dan perlombaan besar penyelenggaraanya
dikaitkan dengan pasar malam, misalnya di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
yang diadakan sekali setahun.
Suatu fenomena yang khas adalah adanya bagian sepakbola dari
sandiwara keliling. Di suatu kota di mana perkumpulan sandiwara itu mengadakan
pertunjukan, mereka juga mengadakan acara memperebutkan piala melawan
perkumpulan-perkumpulan sepakbola setempat.
d. Zaman Jepang
Indonesia diduduki Jepang selama tiga setengah tahun. Di
sekolah-sekolah suatu pelajaran olahraga diisi dengan senam pagi yang disebut
Taisho, dan dilakukan sebelum mulai belajar. Jam olahraga diisi secara
bergiliran dengan baris-baris, sumo (gulat cara Jepang), lari sambung membawa
pasir dalam karung, rebutan bendera yang dilaksanakan oleh antara-regu-regu
yang terdiri dari dari tiga orang. Permainan dan atletik semakin terdesak oleh
olahraga Jepang, antara Kendo yang dilakukan dengan tongkat bambu.Pelajaran
olahraga di sekolah terkenal dengan sebutan gerak badan.
e. Zaman Merdeka
Walaupun baru saja merdeka, dan sibuk menghadapi
serangan-serangan balatentara Belanda yang bersembunyi di bawah selimut sekutu
masuk Indonesia, pemerintah RI telah memberi perhatian kepada olahraga yang
waktu itu masih dikenal dengan istilah gerak badan. Ini terbukti dengan adanya
saran tertulis dari Panitia Penyelidik Pengajaran (Desember 1945) mengenai
pendidikan dan pengajaran, diantaranya mengenai gerak badan. Panitia menyatakan
bahwa pendidikan baru lengkap kalau ada pendidikan jasmani (istilah baru bagi
gerak badan), sehingga tercapai suatu harmoni (keselarasan). Mereka juga
menyarankan adanya latihan militer untuk murid-murid SMT (SMA) dan pelajar
puteri melaksanakan pendidikan jasmani perlu diperhatikan nasehat dokter. Bahan
pelajaran sedapat-dapatnya di ambil dari khazanah permainan dan kesenian
nasional. Dalam pelaksanaan pendidikan jasmani perlu pula memanfaatkan musik
(irama). Kepanduan dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam kurikulum.
Perlombaan perlu, tetapi perlu di cegah terjadinya alses-akses. Biaya
pelaksanaan pendidikan jasmani diberi oleh Pemerintah. Setiap sekolah perlu
dilengkapi dengan lapangan olahraga. Untuk secepatnya mampu melaksanakan
idea-idea diatas, perlu mengadakan kersus-kersus kilat untuk para guru.
Dari apa yang telah terbaca di atas itu terlihat bahwa
pemerintah RI zaman itu sudah cukup luas pandangannya dan mendukung penuh
pelaksanaan olahraga di sekolah.
Dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 yang menyatakan
berlakunya Undang-Undang No. 4 tahun 1950 (RI) untuk seluruh wilayah Nusantara,
maka peraturan lain menjadi hapus. Undang-undang No. 4 tahun 1950 memuat
tentang pendidikan jasmani dalam Bab VI sebagai berikut :
Pasal 9 :
Pendidikan jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dan
perkembangan jiwa, dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir dan batin, diberikan pada segala jenis
sekolah.Penjelasannya Pasal 9 itu adalah sebagai berikut :“Untuk melaksanakan maksud
daripada Bab II Pasal 3 tentang tujuan pendidikan dan pengajaran, maka
pendidikan dan pengajaran harus meliputi kesatuan rohani-jasmani.
Pertumbuhan jiwa dan raga harus mendapat tuntunan yang
menuju ke arah keselarasan, agar tidak timbul penyebelahan ke arah
intelektualisme atau ke arah perkuatan badan saja. Perkataan keselarasan
menjadi pedoman pula untuk menjaga agar pendidikan jasmani tidak mengasingkan
diri daripada pendidikan keseluruhan.
Pendidikan jasmani merupakan usaha pula untuk membuat bangsa
Indonesia sehat dan kuat lahir batin. Oleh karena itu pendidikan jasmani
berkewajiban juga memajukan dan memelihara kesehatan badan, terutama dalam arti
preventif, tapi juga secara korektif.
Pendidikan jasmani sebagai bagian daripada tuntunan terhadap
pertumbuhan rohani-jasmani dengan demikian tidak terbatas pada jam pelajaran
yang diperuntukkan baginya saja”.
Sebagai perencana dan pengatur pendidikan jasmani di sekolah
pada struktur jawatan Pengajaran (salah satu dan 4 jawatan dalam Kementerian Pendidikan
dan Pengajaran) ada Inspeksi Pusat Pendidikan Jasmani. Untuk olahraga di
masyarakat (luar sekolah jawatan pendidika masyarakat ada urusan pendidikan
jasmani). Sekolah-sekolah untuk mendidik guru pendidikan jasmani adalah SGPD
dan akademi PD, di samping itu ada kursus-kursus BI, kursus instruktur PD,
kursus ulang PD.
Di propinsi-propinsi/daerah-daerah ada Inspeksi PD Daerah
yang membina dan mengawasi pelaksanaan PD di sekolah-sekolah. Pada tahun 1952
di Semarang dan tahun 1953 di Surabaya telah dapat di selenggarakan perlombaan
pelajar seluruh Indonesia. Sayang bahwa hanya dapat berlangsung dua kali. Konon
uang untuk penyelenggaraan itu telah dialihkan ke pendirian sekolah-sekolah SGPD
di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1961 dibentuklah Departemen Olahraga karena
diperlukan badan yang lebih tinggi kedudukannya untuk mengelola pendidikan
jasmani dan olahraga yang sejak saat itu dinyatakan menjadi satu dalam istilah
olahraga. Jadi sejak saat itu tidak ada lagi pembedaan di antara keduanya
karena olahraga adalah istilah Indonesia asli dan bukan terjemahan dari sport
dan physical education. Sikap dan sifat mendidik sudah otomatis tercakup dalam
istilah olahraga.
Olahraga menjadi sarana “nation building” dan kususnya untuk
dipakai menggembleng para pemuda untuk menjadi manusia-manusia Indonesia baru
yang “berani melihat dunia ini dengan muka yang terbuka, tegak, fisik kuat,
mental kuat, rohani kuat, jasmani kuat”.
Menjadi olahragawan yang berprestasi tinggi sama harganya
dengan di bidang manapun di mana seseorang telah berprestasi tinggi pula :
ilmu, keprajuritan, keguruan dan sebagainya. Dedikasi, mempersembahkan hidup
untuk Indonesia, menjadi pendorong kuat untuk berprestasi tinggi sehingga
menjujung tinggi nama baik Indonesia. Ini seirama dengan persiapan-persiapan
Asia Games IV yang akan diselenggarakan di Indonesia. Olahraga di luar sekolah
dipergiat melalui BATIDA-BATIDA dan kemudian KOGOR-KOGOR untuk menyiapkan
olahragawan-olahragawan yang diperlombakan antar daerah untuk mampu membentuk
team Indonesia yang tangguh dalam Asia Games IV 1962. Dan memang hasilnya
sangat memuaskan. Belum pernah Indonesia menggondol medali emas, perak dan
perunggu sebanyak tahun 1962 itu.
Dalam masa setelah peristiwa berdarah G 30 S/PKI Indonesia
perlu memulihkan diri secara total dari luka-luka yang telah di deritanya.
Ekonomi dan pangan menduduki prioritas tertinggi dalam program Pemerintah Orde
Baru.
Dengan demikian olahraga yang telah menurun prioritasnya itu
semakin parah keadaannya dan prestasi yang tinggi hanya dicapai oleh
olahragawan bekas TC Asian Games/GANEFO saja. Peningkatan gairah dan sarana
olahraga baru kelihatan setelah lewat satu PELITA. Masyarakat disadarkan bahwa
Pemerintah tidak mungkin ditambah bebannya dengan pengurusan olahraga secara
sendirian, dan perlu adanya gerakan dalam masyarakat itu sendiri yang kuat
untuk memajukan olahraga. Maka timbullah sistem sponsor yang sedikit-sedikit
mulai mendorong kegiatan-kegiatan baru dalam olahraga. Nasib yang sama di alami
oleh olahraga di dalam sekolah. Direktorat Jenderal Olahraga dan Pemuda tidak
lagi mempunyai pengaruh di dalam sekolah-sekolah dan guru-guru olahraga
keadaanya seperti ayam kehilangan induknya. Di sekolah yang semakin padat diisi
dengan program-program pendidikan hal-hal baru, seperti kependudukan,
kesejateraan keluarga, masalah lingkungan, dan sebagainya. Semakin memojokkan
olahraga.
f. Gerakan Olahraga
Kongres olahraga yang pertama kali berlangsung dalam suasana
Indonesia merdeka adalah pada bulan Januari 1947 di Solo. Dalam kongres itu
diputuskan untuk membentuk satu wadah yang mengurusi olahraga, dan Pemerintah
diminta untuk meresmikannya. Wadah itu mendapat nama PORI, singkatan dari
Persatuan Olahraga Republik Indonesia. Pada malam peresmian PORI oleh Presiden
Soekarno dilantik pula suatu panitia yang akan menangani masalah hubungan
Olimpiade, bernama KORI : Komite Olimpiade Republik Indonesia, dan diketuai
oleh Sultan Hamengkubuwono IX.
Pembagian kerja dalam PORI semua adalah sebagai berikut :
Ada bagian-bagian sepakbola, bola basket dan renang, atletik, bola keranjang
penahan, tennis, bulutangkis, pencak silat, serta gerak jalan. Keuangan PORI
dan KORI di dapat dari subsidi Pemerintahan yang disalurkan melalui Kementerian
Pembangunan dan Pemuda.
Sewaktu di Tokyo diselenggarakan Asian Games ke 3 (1958)
Indonesia telah menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah Asian Games ke 4.
Tawaran itu diterima sehingga segala sesuatu perlu dipersiapkan dengan baik
agar tidak membuat malu bangsa dan negara. Ada tiga hal yang perlu ditangani
yaitu penyediaan fasilitas utntuk pertandingan dan perkampungan olahragawan.
Kedua adalah penyiapan team nasional yang tangguh, dan ketiga panitia
penyelenggara yang bijaksana serta memahami seluk-beluk peraturan dan
pengaturan yang bermutu Internasional.
Untuk itu dibentuk Dewan Asia Games Indonesia (DAGI). Semua
kegiatan organisasi olahraga ditempatkan di bawah pimpinan dan pengawasan DAGI,
sedangkan KOI (Komite Olimpiade Indonesia, nama baru bagi KORI). Merupakan
badan pembantu Dewan, terutama dalam masalah organisasi dan administrasi.
Sebagai tindak lanjut DAGI menetapkan bahwa pimpinan sentral dilakukan oleh
Komando Gerakan Olahraga (KOGOR), dan di tiap propinsi dibangun Kantor Gerakan
Olahraga yang selain mencakup Badan Persiapan Team Indonesia Daerah (BATIDA)
juga mencakup KOI Daerah dan organisasi-organisasi olahraga lainnya. Keadaan
diatas itu tidak berlangsung lama, karena terus disusul oleh terbitnya
Keputusan Presiden No. 496/1961 yang memberi wewenang penuh untuk mengatur,
mengawasi, memimpin atau menyelenggarakan segala ketentuan dalam Keputusan
Presiden nomor 79/1961, sehingga KOGOR kedudukannya semakin kokoh dalam
pengelolaan dan pembinaan olahraga.
Karena olahraga oleh Pemerintah diberi arti yang luas dan
dinyatakan sangat penting untuk pembangunan bangsa, maka dengan Keputusan
Presiden No. 131/1962 dibentuklah Departemen Olahraga. Selama ada Departemen
yang mengelola Olahraga, baik organisasi maupun prestasi olahraga terus
meningkat. Ini terbukti dari hasil yang dicapai dalam Asian Games ke 4 dan
Games of the New Emerging Foeces (GANEFO) yang pertama.
Setelah usaha terkutuk G 30 S/PKI gagal untuk menguasai RI
dan pemerintah Orde Baru memegang tampuk pimpinan negara diadakan kriteria
untuk menentukan prioritas dalam segala hal yang perlu ditangani oleh
Pemerintah, dan ekonomilah yang mendapat priorutas tertinggi. Tidak berhubungan
bahwa olahraga mengalami kemunduran. Ini tidak berlangsung lama karena kalangan
olahraga menyadari sepenuhnya tugas berat Pemerintah untuk membangun negara dan
bangsa, dan tidak mungkin hanya mau menggantungkan diri kepada Pemerintah. Lalu
diadakan musyawarah antara induk-induk cabang olahraga (MUSORNAS), dan berhasil
dibentuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang dengan Keputusan
Presiden No. 57/1967 ditetapkan sebagai satu-satunya pembina gerakan olahraga.
KONI tunduk kepada kebijaksanaan umum Pemerintah dan wajib membantu Pemerintah
dalam perencanaan kebijaksanaan umum di bidang olahraga. Dalam badan baru (KONI)
ini KOI merupakan bagian yang khusus menangani hubungan dengan IOC dan gerakan
Olimpik. Ini sangat pragmatis, karena KOI sudah menjadi anggota IOC sejak 1952.
Di tahun 1970 dalam masyarakat timbul masalah
profesionalisme, khususnya dalam tinju. Pemerintah melalui PP no. 63/1971
mengatur pembinaan olahraga profesional secara menyeluruh, tetapi pada waktu
itu baru tinju yang menonjol permasalahannya. Enam tahun kemudian masalah
sepakbola profesional menjadi perhatian khalayak ramai. Badan yang membina profesionalisme
menjadi perhatian khalayak ramai. Badan yang membina profesionalisme adalah
BAPOPI (Badan Pembina Olahraga Profesional Indonesia) sebagai pembantu Menteri
P dan K.